Minggu, 26 Juni 2011

EKSTERNALITAS DALAM PENGGUNAAN BARANG PUBLIK

A. EKTERNALITAS

Kegiatan ekonomi yang dilakukan seseorang dapat menimbulkan keuntungan atau kerugian pada orang lain. Efek yang timbulkan inilah yang diistilahkan dengan eksternalitas. Ekternalitas adalah suatu situasi dimana activitas yang dilakukan oleh agen ekonomi (produsen dan konsumen) mempengaruhi utilitas atau kemungkinan produksi orang lain dimana hal tersebut tidak tercermin dalam pasar.

Tidak ada mekanisme pasar yang mengatur hal tsb, seperti misalnya memberikan kompensasi kepada orang terkena dampak negatif dari perbuatan yang dilakukan oleh agen ekonomi tersebut. Kesempatan berproduksi atau konsumen aktor lain diubah tanpa fungsi regulasi dari mekanisme pasar (tanpa melalui pasar). Eksternalitas tidak dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan ekonomi oleh orang yang menyebabkan munculnya eksternalitas.

Beberapa contoh eksternalitas negatif adalah tumbuhan pangan dirusak oleh ternak, merokok karena menimbulkan asap, emisi gas efek rumah kaca dari industri, polusi yang disebabkan oleh pabrik, kehilangan keanekaragaman hayati akibat penebangan kayu, penggunaan berlebihan dari air (air irigasi), dan penggunaan pestisida dalam kegiatan pertanian.

Adapun contoh eksternalitas positif adalah pemilik lebah dan kebun buah-buahan, bentang alam yang indah dari kegiatan pertanian, gelandang yang memperoleh pakaian dari lembaga amal, dan vaksinasi terhadap penyakit menular.

Faktor penyebab eksternalitas adalah keberadaan barang publik, smber daya milik bersama (common property), ktidaksempurnaan pasar, prilaku monopoli yang selalu berusaha memaksimumkan keuntungan berakibat berkurang surplus yang diperoleh konsumen/masyarakat karena harga menjadi mahal, dan kegagalan pemerintah dan membuat dan menegakkan regulasi yang telah dibuat.

Kegagalan pemerintah banyak diakibatkan oleh tarikan kelompok kepentingan, seperti dalam kasus-kasus pencemaran yang semestinya didenda besar tapi ternyata tidak. Contoh, Buyat, Tempat Pembuangan Sampah Akhir di Bandung yang mengalami longsor, dan lain-lain.

Solusi atas Masalah Eksternalitas:

1. Regulasi Pemerintah

v Regulasi oleh pemerintah (command and control policy yang melarang suatu kegiatan yang menimbulkan eksternalitas negatif);

- Pemerintah menetapkan batas maksimum emisi yang diperbolehkan bagi suatu pabrik

- Pemerintah meminta agar perusahaan mengadopsi teknologi tertentu untuk mengurangi emisi (pengeluaran berupa panas, cahaya, bau, bunyi, asap, gas, zat cair dsb)

- Untuk mendesain peraturan yang baik, regulator pemerintah perlu mengetahui secara detail mengenai kekhasan industri dan teknologi alternatif yang industri tersebut dapat mengadopsinya. Informasi mengenai hal ini sering sulit bagi regulator pemerintah untuk mendapatkannya.

2. Pajak dan Subsidi (Pigovian Taxes and Subsidies)

Arthur C Pigou (1877-1959) merumuskan solusi atas eksternalitas melalui mekanisme pajak dan subsidi. Pengenaan pajak bagi penyebab eksternalitas negatif dan subsidi bagi penyebab eksternalitas positif.

+ Regulasi: Pemerintah memberi tahu semua pabrik agar mengurangi polusinya menjadi 300 tons

+ Pigovian tax: Pemerintah mengenakan pajak pada setiap pabrik sebesar Rp 100 juta atas setiap ton polusi yang dikeluarkan (diemisikan).

Pemerintah dapat meraih berapapun tingkat polusi yang diinginkan dengan menetapkan pajak pada tingkat yang tepat. Semakin tinggi pajak, semakin besar tingkat pengurangan polusi. Malah, jika pajak cukup tinggi, pabrik bisa tutup semuanya dan tingkat polusi mencapai titik nol.

Pajak dapat mengurangi polusi lebih besar dibandingkan dengan regulasi. Bisa jadi perusahaan mengurangi polusi sampai tingkat tertentu hanya untuk menghindari pajak, dan perusahaan lain bisa jadi mengurangi polusi sedikit dan membayar pajak.

Implikasi dari kebijakan tersebut adalah izin polusi yang diberikan dapat diperjualbelikan. Berikut ini adalah ilustrasi mengenai adanya praktek jaul beli izin polusi:

Izin Polusi yang dapat Diperjualbelikan

Sekarang, mari kita andaikan BAPEDAL mengesampingkan saran para ekonom, dan menerapkan pendekatan formal. BAPEDAL mengeluarkan peraturan yang mengharuskan setiap pabrik, untuk menurunkan limbahnya hingga 300 ton per tahun. Namun, hanya sehari setelah peraturan itu diumumkan, pimpinan dua perusahaan, yang satu pabrik baja dan yang lain dari pabrik kertas, datang ke kantor BAPEDAL untuk mengajukan suatu usulan.

Pabrik baja perlu menaikkan ambang polusinya, misalnya seratus ton per tahun. Agar polusi total tidak bertambah, pengelola pabrik kertas bersedia menurunkan polusinya sebanyak itu, asalkan si pemilik pabrik baja memberikan kompensasi Rp. 5.000.000.- dan permintaan ini sudah disanggupi oleh pemilik pabrik baja. Haruskan BAPEDAL mengizinkan kedua pabrik itu melakukan jual-beli hak berpolusi sendiri ?

Dari sudut pandang efisiensi ekonomi pemberian izin bagi kedua pabrik tersebut akan menjadi kebijakan yang baik. Kesepakatan antara kedua pabrik itu akan menguntungkan keduanya, karena mereka secara sukarela menyetujuinya. Di samping itu, kesepakatan itu tidak akan mengakibatkan dampak eksternal apa pun, karena batas polusi total tidak dilanggar. Jadi, kesejahteraan total akan meningkat kalau BAPEDAL mengizinkan kedua pabrik itu melakukan jual-beli hak berpolusi.

Logika yang sama berlaku untuk setiap transfer hak berpolusi secara sukarela, dari satu perusahaan ke perusahaan lain. Jika kemudian BAPEDAL memang mengizinkan hal itu, maka sesungguhnya BAPEDAL telah menciptakan sumberdaya langka yang baru, yakni hak berpolusi. Pasar yang memperdagangkan hak berpolusi ini selanjutnya pasti akan tumbuh dan berkembang, dan pada gilirannya, pasar ini akan tunduk pada kekuatan-kekuatan penawaran dan permintaan. Perusahaan-perusahaan yang dihadapkan pada biaya yang sangat tinggi untuk berpolusi, pasti akan aktif dipasar itu, karena bagi mereka, membeli hak berpolusi lebih murah dibanding melakukan investasi baru untuk menurunkan polusi pabrik-pabrik mereka. Sebaliknya, perusahaan-perusahaan yang tidak dihadapkan pada kendala yang berat untuk menurunkan polusi, pasti akan senang hati menjual haknya berpolusi karena hal itu akan memberinya pendapatan cuma-cuma.

Satu keuntungan dari berkembangnya pasar hak berpolusi ini adalah alokasi/pembagian awal izin berpolusi dikalangan perusahaan tidak akan menjadi masalah, jika ditinjau dari sudut pandang efisien ekonomi. Logika yang melatarbelakangi kesimpulan tersebut mirip dengan logika mendasari teorema Coase.

Perusahaan-perusahaan yang paling mampu menurunkan polusi akan menjual haknya berpolusi, sedangkan perusahaan yang harus mengeluarkan biaya besar untuk menurunkan polusi, akan menjadi pembelinya. Selama pasar hak berpolusi ini dibiarkan bekerja dengan bebas, maka alokasi akhirnya akan lebih efisien dibandingkan alokasi awalnya, terlepas dari sebaik apapun alokasi awal tersebut.

Meskipun penurunan polusi melalui pemberlakuan izin polusi nampak berbeda kasusnya dari penerapan pajak Pigovian, sesungguhnya dampak akhir dari kedua kebijakan ini akan sama saja. Dalam kedua kasus ini, perusahaan tetap harus membayar atas polusi yang ditimbulkannya. Dalam kasus pajak Pigovian, perusahaan pencipta polusi harus membayar pajak atau semacam denda kepada pemerintah, atas polusi yang ditimbulkannya itu, sedangkan pada kasus izin polusi, perusahaan harus membeli izin itu dari pemerintah. Bahkan perusahaan-perusahaan yang sudah memiliki izin polusi tetap harus membayar dalam bentuk lain, yakni biaya oportunitas berpolusi berupa pendapatan yang akan mereka peroleh seandainya mereka menjual izin polusi itu dalam sebuah pasar terbuka. Dengan demikian, penerapan pajak Pigovian maupun izin polusi, sama-sama dapat menginternalisasikan eksternalitas, dengan memaksa perusahaan menanggung ongkos tertentu untuk berpolusi.

Kemiripan antara kedua kebijakan itu dapat dilihat secara jelas di pasar polusi. Kedua panel yang terdapat pada gambar dibawah ini sama-sama menunjukkan kurva permintaan atas hak berpolusi. Kurva permintaan ini memperlihatkan bahwa semakin rendah biaya atau harga polusi, akan semakin tinggi permintaan polusi artinya perusahaan-perusahaan akan lebih leluasa berpolusi, karena biayanya relatif rendah. Selanjutnya pada gambar (a) diperlihatkan BAPEDAL, dalam rangka mengurangi polusi, langsung menetapkan harga polusi dengan cara memberlakukan pajak Pigovian. Dalam kasus ini, kurva penawaran hak berpolusi bersifat elastis sempuma karena perusahaan-perusahaan dapat berpolusi sebanyak pajak yang mereka bayarkan. Disini, kurva permintaan akan menentukan kuantitas polusi. Sedangkan pada gambar (b) BAPEDAL secara langsung membatasi kuantitas polusi dengan cara menerbitkan sejumlah izin polusi terbatas. Dalam kasus ini, kurva penawaran hak berpolusi bersifat inelastis sempuma (Karena perusahaan-perusahaan langsung dijatah kuantitas polusinya, sebanyak izin polusi yang ada). Di sini, posisi kurva permintaan akan menentukan harga polusi.









Pajak

Pigovian

O Q Kuantitas Polusi 0 Q Kuantitas Polusi

Gambar (a) Pajak Pigovian Gambar (b) Izin Polusi

Dalam kedua kasus ini, terlepas dan posisi kurva permintaannya, BAPEDAL dapat mencapai sembarang titik pada kurva itu, dengan menetapkan harga polusi melalui pajak Pigovian, atau dengan secara langsung membatasi kuantitas polusi melalui penerbitan izin polusi terbatas.

Namun dalam beberapa hal, penjualan izin polusi bisa lebih baik dan itu pada penerapan pajak Pigovian. Umpamakan saja BAPEDAL suatu ketika ingin membatasi limbah yang dibuang di sungai tidak lebih dari 600 ton. Tetapi karena BAPEDAL tidak mengetahui kurva permintaan polusi, maka ia tidak akan dapat memastikan berapa besar pajak yang harus diterapkan untuk mencapai target tersebut. Dalam kasus ini, pemecahan akan diperoleh dengan melelang izin polusi sebanyak 600 ton limbah. Hasil lelang ini akan memberi pendapatan seperti halnya pajak Pigovian.

* Menetapkan Hak Kepemilikan (defining property rights)

Hak kepemilikan dari pemilik apel dan pemilik lebah adalah jelas ada dan dapat dipindahkan. Dalam kasus pabrik yang membuat polusi, apakah pabrik mempunya hak menggunakan udara semaunya atau apakah penduduk sekitarnya mempunyai hak atas udara yang bersih? Hak atas udara yang bersih tidak ditetapkan dan tidak dapat dipindahkan. Adalah tidak mungkin membeli dan menjual hak atas penggunaan udara. Dalam kasus ini, tidak ada alasan untuk percaya bahwa dalam usaha memenuhi interes pribadi individu akan mempromosikan penggunaan udara dalam perilaku yang paling bernilai.

Oleh karena itu, penetapan kepemilikan adalah satu cara menghilang masalah yang ditimbulkan oleh ekternalitas. Karena ketidakadaan kepemilikan merupakan salah satu penyebab kegagalan pasar, maka penetapan kepemilikan adalah salah satu cara mengoreksi kegagalan pasar. Sebuah analisis ekonomi yang penting atas penetapan kepemilikan pertama kali diperkenalkan oleh Ronald H Coase, yang memperoleh hadiah Nobel dalam bidang ekonomi pada tahun 1991 atas karyanya dalam bidang itu.

* Bargaining Approach of Coase (pendekatan tawar-menawar)

Teorema Coase:

Ronald Coase: The Problem of Social Cost dalam Journal of Law and Economics No. 3 (Okt 1960)

Isi pokok dari artikelnya:

1. Membuktikan bahwa intervensi Negara seperti disarankan oleh Pigou bukan merupakan satu-satunya solusi yang diperlukan terhadap persoalan eksternalitas.

2. Investigasi atas peran hak kepemilikan dalam mengatasi persoalan eksternalitas.

Contoh: petani tanaman pangan dan peternak

v Pandangan konvensional: peternak menyebabkan eksternalitas

v Coase menunjukkan adanya situasi timbal balik

“Menghindarkan bahaya pada B akan menimbulkan bahaya pada A. Pertanyaan nyata yang harus diputuskan adalah haruskah A dibiarkan membahayakan B atau haruskah B diijinkan membahayakan A?”

· Jika petani tanaman pangan mempunyai hak kepemilikan atas sumber daya tanah dimana dia menanam tanaman, maka dia mempunyai hak atas kompensasi.

· Jika petani tanaman pangan tidak punya hak atas kompensasi, dia (petani) dapat menawarkan peternak kompensasi atas kehilangan yang ia (peternak) derita, jika peternak mengurangi jumlah ternaknya, membangun pagar atau mengembalakan ternaknya.

Dalam kedua kasus tersebut, petani dan peternak dapat melakukan tawar-menawar atas hak kepemilikan mereka.

Apa yang disebut Teorema Coase menerangkan bahwa - tidak menjadi persoalan bagaimana hak kepemilikan di tetapkan – tawar-menawar akan mendatangkan solusi yang efisien. Efisien dalam pengertian bahwa sumber daya (tanah, tenaga kerja, modal) dialokasikan secara efisien.

Dengan kata lain, jika kedua pihak dapat bersepakat (saling menawar) tanpa ada biaya atas alokasi sumber daya, maka pasar privat akan selalu memecahkan persoalan ekternalitas dan alokasi sumber daya secara efisien.

Teorema ini hanya berlaku jika sejumlah asumsi dipenuhi yaitu:

* Pertanyaan mengenai distribusi tidak memainkan peran,

* Tidak ada biaya transaksi (bernegosiasi) yaitu semua biaya yang dikeluarkan untuk menghubungi, biaya untuk bernegosiasi, biaya penyusunan, penegakan kontrak (enforce contracts) dan monitoring,

* Fungsi produksi dan utilitas kedua belah pihak yang bernegosiasi diketahui oleh mereka,

* Pihak² yang bernegosiasi memaksimumkan keuntungannya (rational choice/maximum profit or benefit).

Kurva Marginal Cost dan Marginal Benefit

Dalam kasus pabrik yang membuat polusi, apakah pabrik mempunyai hak menggunakan udara semaunya ataukah penduduk sekitar yang lebih berhak atas udara.

Sebuah pabrik mengeluarkan asap disekitar pemukiman masyarakat. Output per unit waku adalah tetap ditunjukkan oleh sumbu horisontal. Marginal Benefit (MB) perusahaan dari memproduksi output ini diberikan dalam dolar pada sumbu vertikal. Untuk analisis ini, MB dapat dipandang sebagai keuntungan bersih dari setiap unit penambahan produk. Kurva MB oleh karena itu turun dengan adanya penambahan output karena tingkat pengembalian dari setiap produksi tambahan umumnya menurun.

Marginal Cost (MC) menunjukkan eksternalitas yang disebabkan oleh produk dari perusahaan dan diberikan dalam dolar sepanjang sumbu vertikal. MC mengukur tambahan biaya yang diciptakan pada setiap tingkat output oleh adanya tambahan asap. Asumsinya adalah jumlah asap yang diproduksi oleh perusahaan berhubungan langsung dengan tingkat produknya, dimana semakin banyak produk yang dihasilkan menyebabkan makin banyak asap yang dikeluarkan. Jadi, MC naik sejalan dengan naiknya output.

Sekarang kita terapkan analisa Coase. Kita berikan hak kepemilikan udara bersih kepada warga masyarakat disekitar pabrik. Asumsi bahwa tidak ada biaya dalam melakukan tawar-menawar, kita dapat memprediksi apa yang akan terjadi dengan bantuan gambar di bawah.

Sampai pada tingkat output Q, kita lihat bahwa MB > MC. Keuntungan perusahaan atas tambahan output lebih besar daripada tambahan biaya polusi yang ditanggung oleh masyarakat sendiri; ini berarti bahwa perusahaan mau membeli dan masyarakat mau menjual hak penggunaan udara untuk memproduksi output pada tingkat tersebut. Karena biaya total eksternalitas disebabkan oleh output tersebut ditunjukkan oleh area di bawah kurva MC, OEQ, tawar menawar dapat dilakukan antara perusahaan dan masyarakat untuk memproduksi Q dengan kesepakatan atas bagaimana membagi surplus MB, AEO. Diluar Q, MC > MB. Tawaran untuk memproduksi tingkat unit ini tidak akan dapat dicapai antara perusahaan dan masyarakat karena perusahaan tidak ingin menawar yang cukup untuk memperoleh hak untuk memproduksi output pada tingkat Q. Jadi Q, dimana MB = MC, adalah hasil keseimbangan ketika masyarakat diberikan pengalihan hak untuk menggunakan udara.

Kita teruskan analisis yang sama, tetapi sekarang kita lihat bahwa masyarakat harus membayar perusahaan untuk memproduksi output yang lebih kecil jumlahnya. Sampai dengan Q unit output, MB > MC, yang berarti bahwa masyarakat tidak dapat menawarkan sejumlah uang yang cukup untuk menyuruh perusahaan mengurangi outputnya dan asapnya. Diluar Q, situasi berubah: Perusahaan akan bersedia menerima tawaran uang untuk mengurangi outputnya. Diluar Q, asap menyebabkan EBCQ kerusakan kepada masyarakat, dan benefit kepada perusahaan atas output ini hanya ECQ. Oleh karena itu, masyarakat mau membuat itu berfaedah bagi perusahaan untuk mengurangi polusi pada titik dimana MB = MC pada Q.

Dari penjelasan tadi, kita telah melihat suatu yang sederhana tapi menghasilkan hal yang luar biasa. Tidak masalah siapa yang mempunyai hak secara legal atas penggunaan udara, jumlah polusi adalah sama. Ketika perusahaan harus membayar untuk polusi, dia memproduksi Q. Ketika perusahaan mempunyai hak untuk membuat polusi, dia memproduksi Q. Ini inti pokok dari apa yang ditawarkan oleh Teorema Coase. Di dunia dimana biaya tawar-menawar (transaksi) adalah nol, penetapan hak secara legal tidak ada pengaruhnya.

B. Mengatasi dilemma barang publik (Eksternalitas)

Sejauh mana solusi swata tersebut mampu mengatasi masalah eksternalitas? Ada sebuah pemikiran yang disebut teorema Coase (Coase Theorem) mengambil nama perumusnya yakni ekonom Ronald Coase yang menyatakan bahwa solusi swasta bisa sangat efektif seandainya memenuhi satu syarat. Syarat itu adalah pihak-pihak yang berkepentingan dapat melakukan negosiasi atau merundingkan langkah-langkah penanggulangan masalah ekternalitas yang ada diantara mereka, tanpa menimbulkan biaya khusus yang memberatkan alokasi sumber daya yang sudah ada. Menurut teorema Coase, hanya jika syarat itu terpenuhi, maka pihak swasta itu akan mampu mengatasi masalah eksternalitas dan meningkatkan efisiensi alokasi sumber daya. Untuk lebih memahami makna teorema Coase, simaklah contoh berikut:

Di sebuah kota tinggal seseorang bernama Made, ditemani anjingnya yang bernama Spot. Spot ini terus-terusan menggonggong sehingga sangat mengganggu Wahyuni, tetangga Made. Made memetik manfaat dengan memelihara Spot, berupa rasa aman dan nyaman. Namun pemeliharaannya atas Spot itu menimbulkan eksternalitas negatif terhadap Wahyuni. Haruskah Made dipaksa mengirim anjing ke lokasi khusus penitipan hewan, ataukah Wahyuni yang harus dipaksa rela begadang sepanjang malam, karena tidak bisa tidur akibat gonggongan Spot?

Pertama-tama, kita perkirakan dahulu seperti apa pemecahan yang dalam hal ini secara sosial (untuk semua pihak). Ada dua alternatif yang perlu dipertimbangkan, dan untuk itu diperlukan perhitungan atas seberapa banyak nilai keuntungan bagi Made dengan memelihara Spot, dan berapa kerugian yang harus ditanggung Wahyuni. Jika keuntungannya melebihi kerugiannya maka pemecahan yang efisien secara sosial adalah Made dibiarkan terus memelihara anjingnya, sedangkan Wahyuni harus rela tidur diiringi gonggongan anjing. Sebaliknya, jika nilai kerugiannya melampaui nilai keuntungannya, maka Made harus menyingkirkan anjingnya. Menurut teorema Coase, pasar swasta dapat menciptakan sendiri pemecahan yang efisien. Bagaimana caranya? Sebagai satu contoh, Wahyuni dapat menawarkan sejumlah uang kepada Made agar menyingkirkan anjingnya. Made akan terima tawaran itu, jika uang yang ditawarkan melebihi nilai keuntungannya dalam memelihara Spot. Melalui tawar menawar, Made dan Wahyuni akhirnya akan dapat menyepakati jumlah imbalan yang dapat diterima kedua belah pihak, dan seandainya kesepakatan tersebut benar-benar dapat dicapai, maka itu berarti mereka dapat menciptakan sendiri pemecahan atas masalah eksternalits yang mereka hadapi. Umpamakan saja, nilai keuntungan bagi Made dari memelihara Spot adalah Rp. 50.000,- sedangkan kerugian Wahyuni bernilai Rp. 80.000,- Dalam kasus ini, Wahyuni dapat menawarkan imbalan sebanyak Rp. 60.000,- dan Made dengan senang hati akan menyingkirkan anjingnya. Kedua belah pihak akan lebih sejahtera dibanding sebelumnya dan pemecahan efisien pun tercipta.

Namun ada pula kemungkinan Wahyuni tidak membayar imbalan itu, yakni jika ternyata nilai keuntungan Made lebih besar dari pada nilai kerugiannya. Misalkan saja, nilai keuntungan Made dari memelihara Spot ternyata Rp. 100.000,- sedangkan kerugian Wahyuni akibat gonggongan Spot hanya Rp. 80.000,- Jika ini kasusnya, maka tentu saja Made akan menolak tawaran imbalan yang lebih kecil dari Rp. 100.000,- padahal Wahyuni tidak akan mau membayar lebih dari Rp. 80.000,-. Akibatnya, Made akan tetap memelihara Spot. Ditinjau dari perhitungan untung ruginya, kondisi tersebut juga terhitung efisien.

Semua uraian dalam contoh di atas, tentu saja bertumpu pada asumsi bahwa Made secara hukum memang dibenarkan memelihara anjingnya yang berisik itu, sehingga Wahyuni tidak bisa mengganggu gugat. Artinya, kita berasumsi bahwa Made dapat memelihara Spot dengan bebas, dan Wahyuni harus memberinya imbalan agar Made menyingkirkan anjingnya itu secara sukarela. Lantas bagaimana jika ternyata hukum berpihak pada Wahyuni, atau jika Wahyuni secara hukum berhak untuk menikmati ketenangan dan ketentraman di rumahnya sendiri.

Menurut teorema Coase, distribusi awal hak atau perlindungan hukum itu tidak menjadi persoalan, karena tidak ada pengaruhnya terhadap kemampuan pasar dalam mencapai hasil yang efisien. Misalkan saja, Wahyuni secara hukum dapat menggugat Made agar menyingkirkan anjingnya. Dalam kasus ini, hukum berpihak pada Wahyuni, namun hasil akhirnya tidak akan berubah. Dalam kasus ini, Made dapat menawarkan sejumlah imbalan kepada Wahyuni agar ia dapat terus memelihara anjingnya. Andaikata nilai keuntungan Made lebih besar daripada kerugian Wahyuni, maka keduanya akan dapat mencapai suatu kesepakatan yang memungkinkan Made terus memelihara Spot.

Jadi, terlepas dari distribusi hak pada awalnya, Made dan Wahyuni tetap berpeluang mencapai kesepakatan. Meskipun demikian, soal distribusi hak itu bukannya sama sekali tidak relevan, karena distribusi awal itulah yang menentukan distribusi kesejahteraan ekonomi. Jika Made yang memiliki hak awal untuk memelihara Spot, maka Wahyuni lah yang harus memberi imbalan dalam kesepakatan yang mereka buat. Sebaliknya, jika Wahyuni yang mempunyai hak awal untuk hidup tenang, maka Made yang harus memberi imbalan. Namun dalam kedua kasus ini, kesepakatan tetap dapat dibuat dalam rangka mengatasi masalah eksternalitas. Pada akhirnya, Made hanya akan terus memelihara anjingnya jika nilai keuntungannya melebihi nilai kerugiannya.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa Teorema Coase menyatakan bahwa pelaku-pelaku ekonomi pribadi/swasta, dapat mengatasi sendiri masalah eksternalitas yang muncul diantara mereka. Terlepas dari distribusi hak pada awalnya, pihak-pihak yang berkepentingan selalu berpeluang mencapai kesepakatan yang menguntungkan semua pihak, dan merupakan pemecahan yang efisien.

Latihan Kasus

Anda, misalkan, tinggal disebuah kompleks perumahan baru yang terdiri dari 10 keluarga. Lokasi tempat tinggal Anda adalah dipinggir jalan besar dimana di depan rumah Anda terdapat kontainer sampah (kontainer kuning) milik Pemerintah Kota Mataram. Setiap hari tetangga Anda membuang sampah di kontainer tersebut. Jika tidak dapat terangkut dalam beberapa hari, kejadian ini sering terjadi dan berulang-ulang, maka dari kontainer tersebut muncul bau menyengat dan mengganggu Anda dan keluarga karena letaknya sangat dekat dengan rumah Anda. Kenyamanan hidup Anda terganggu dan Anda ingin menghilangkan bencana tersebut. Coba saudara pecahnya masalah tersebut berdasarkan Teorema Coase yang telah Anda pelajari. Berikan data-data hipotesis yang dapat mendukung argumentasi Anda.

Selasa, 21 Juni 2011

IZINKAN AKU MENCIUMMU, IBU

Sewaktu masih kecil, aku sering merasa dijadikan pembantu olehnya. Ia selalu menyuruhku mengerjakan tugas-tugas seperti menyapu lantai dan mengepelnya setiap pagi dan sore. Setiap hari, aku ‘dipaksa’ membantunya memasak di pagi buta sebelum ayah dan adik-adikku bangun. Bahkan sepulang sekolah, ia tak mengizinkanku bermain sebelum semua pekerjaan rumah dibereskan. Sehabis makan, aku pun harus mencucinya sendiri juga piring bekas masak dan makan yang lain. Tidak jarang aku merasa kesal dengan semua beban yang diberikannya hingga setiap kali mengerjakannya aku selalu bersungut-sungut.

Kini, setelah dewasa aku mengerti kenapa dulu ia melakukan itu semua. Karena aku juga akan menjadi seorang istri dari suamiku, ibu dari anak-anakku yang tidak akan pernah lepas dari semua pekerjaan masa kecilku dulu. Terima kasih ibu, karena engkau aku menjadi istri yang baik dari suamiku dan ibu yang dibanggakan oleh anak-anakku.

Saat pertama kali aku masuk sekolah di Taman Kanak-Kanak, ia yang mengantarku hingga masuk ke dalam kelas. Dengan sabar pula ia menunggu. Sesekali kulihat dari jendela kelas, ia masih duduk di seberang sana. Aku tak peduli dengan setumpuk pekerjaannya di rumah, dengan rasa kantuk yang menderanya, atau terik, atau hujan. Juga rasa jenuh dan bosannya menunggu. Yang penting aku senang ia menungguiku sampai bel berbunyi.

Kini, setelah aku besar, aku malah sering meninggalkannya, bermain bersama teman-teman, bepergian. Tak pernah aku menungguinya ketika ia sakit, ketika ia membutuhkan pertolonganku disaat tubuhnya melemah. Saat aku menjadi orang dewasa, aku meninggalkannya karena tuntutan rumah tangga.

Di usiaku yang menanjak remaja, aku sering merasa malu berjalan bersamanya. Pakaian dan dandanannya yang kuanggap kuno jelas tak serasi dengan penampilanku yang trendi. Bahkan seringkali aku sengaja mendahuluinya berjalan satu-dua meter didepannya agar orang tak menyangka aku sedang bersamanya. Padahal menurut cerita orang, sejak aku kecil ibu memang tak pernah memikirkan penampilannya, ia tak pernah membeli pakaian baru, apalagi perhiasan. Ia sisihkan semua untuk membelikanku pakaian yang bagus-bagus agar aku terlihat cantik, ia pakaikan juga perhiasan di tubuhku dari sisa uang belanja bulanannya. Padahal juga aku tahu, ia yang dengan penuh kesabaran, kelembutan dan kasih sayang mengajariku berjalan. Ia mengangkat tubuhku ketika aku terjatuh, membasuh luka di kaki dan mendekapku erat-erat saat aku menangis.

Selepas SMA, ketika aku mulai memasuki dunia baruku di perguruan tinggi. Aku semakin merasa jauh berbeda dengannya. Aku yang pintar, cerdas dan berwawasan seringkali menganggap ibu sebagai orang bodoh, tak berwawasan hingga tak mengerti apa-apa. Hingga kemudian komunikasi yang berlangsung antara aku dengannya hanya sebatas permintaan uang kuliah dan segala tuntutan keperluan kampus lainnya.

Usai wisuda sarjana, baru aku mengerti, ibu yang kuanggap bodoh, tak berwawasan dan tak mengerti apa-apa itu telah melahirkan anak cerdas yang mampu meraih gelar sarjananya. Meski Ibu bukan orang berpendidikan, tapi do’a di setiap sujudnya, pengorbanan dan cintanya jauh melebihi apa yang sudah kuraih. Tanpamu Ibu, aku tak akan pernah menjadi aku yang sekarang.

Pada hari pernikahanku, ia menggandengku menuju pelaminan. Ia tunjukkan bagaimana meneguhkan hati, memantapkan langkah menuju dunia baru itu. Sesaat kupandang senyumnya begitu menyejukkan, jauh lebih indah dari keindahan senyum suamiku. Usai akad nikah, ia langsung menciumku saat aku Kubersimpuh di kakinya. Saat itulah aku menyadari, ia juga yang pertama kali memberikan kecupan hangatnya ketika aku terlahir ke dunia ini.

Kini setelah aku sibuk dengan urusan rumah tanggaku, aku tak pernah lagi menjenguknya atau menanyai kabarnya. Aku sangat ingin menjadi istri yang shaleh dan taat kepada suamiku hingga tak jarang aku membunuh kerinduanku pada Ibu. Sungguh, kini setelah aku mempunyai anak, aku baru tahu bahwa segala kiriman uangku setiap bulannya tak lebih berarti dibanding kehadiranku untukmu. Aku akan datang dan menciummu Ibu, meski tak sehangat cinta dan kasihmu kepadaku.

Selasa, 14 Juni 2011




AKHIR YANG BERBEDA

---------------------------

Tatkala masih dibangku sekolah, aku hidup bersama kedua orangtuaku dalam lingkungan yang baik. Aku selalu mendengar doa ibuku saat pulang dari keluyuran dan begadang malam. Demikian pula ayahku, ia selalu dalam shalatnya yang panjang. Aku heran, mengapa ayah shalat begitu lama, apalagi jika saat musim dingin yang menyengat tulang. Aku sungguh heran, bahkan hingga aku berkata kepada diri sendiri: "Alangkah sabarnya mereka ... setiap hari begitu ... benar-benar mengherankan!"

Aku belum tahu bahwa di situlah kebahagiaan orang mukmin dan itulah shalat orang-orang pilihan. Mereka bangkit dari tempat tidurnya untuk bermunajat kepada Allah.

Setelah menjalani pendidikan militer, aku tumbuh sebagai pemuda yang matang. Tetapi diriku semakin jauh dari Allah padahal berbagai nasehat selalu kuterima dan kudengar dari waktu ke waktu. Setelah tamat dari pendidikan, aku ditugaskan di kota yang jauh dari kotaku. Perkenalanku dengan teman-teman sekerja membuatku agak ringan menanggung beban sebagai orang terasing.

Disana, aku tak mendengar lagi suara bacaan Al-Qur'an.

Tak ada lagi suara ibu yang membangunkan dan menyuruhku shalat. Aku benar-benar hidup sendirian, jauh dari lingkungan keluarga yang dulu kami nikmati.

Aku ditugaskan mengatur lalu lintas di sebuah jalan tol. Di samping menjaga keamanan jalan, tugasku membantu orang-orang yang membutuhkan bantuan.

Pekerjaan baruku sungguh menyenangkan. Aku lakukan tugas-tugasku dengan semangat dan dedikasi tinggi. Tetapi, hidupku bagai selalu diombang-ambingkan ombak.

Aku bingung dan sering melamun sendirian ... banyak waktu luang ... pengetahuanku terbatas. Aku mulai jenuh ... tak ada yang menuntunku di bidang agama. Aku sebatang kara. Hampir tiap hari yang kusaksikan hanya kecelakaan dan orang-orang yang mengadu kecopetan atau bentuk-bentuk penganiayaan lain. Aku bosan dengan rutinitas.

Sampai suatu hari terjadilah sebuah peristiwa yang hingga kini tak pernah kulupakan. Ketika itu, kami dengan seorang kawan sedang bertugas disebuah pos jalan. Kami asyik ngobrol ... tiba-tiba kami dikagetkan oleh suara benturan yang amat keras. Kami mengedarkan pandangan. Ternyata, sebuah mobil bertabrakan dengan mobil lain yang meluncur dari arah yang berlawanan. Kami segera berlari menuju tempat kejadian untuk menolong korban.

Kejadian yang sungguh tragis. Kami lihat dua awak salah satu mobil dalam kondisi kritis. Keduanya segera kami keluarkan dari mobil lalu kami bujurkan di tanah.

Kami cepat-cepat menuju mobil satunya. Ternyata pengemudinya telah tewas dengan amat mengerikan. Kami kembali lagi kepada dua orang yang berada dalam kondisi koma. Temanku menuntun mereka mengucapkan kalimat syahadat.

Ucapkanlah "Laailaaha Illallaah ... Laailaaha Illallaah .." perintah temanku. Tetapi sungguh mengerikan, dari mulutnya malah meluncur lagu-lagu.

Keadaan itu membuatku merinding. Temanku tampaknya sudah biasa menghadapi orang-orang yang sekarat ... Kembali ia menuntun korban itu membaca syahadat. Aku diam membisu. Aku tak berkutik dengan pandangan nanar. Seumur hidupku, aku belum pernah menyaksikan orang yang sedang sekarat, apalagi dengan kondisi seperti ini. Temanku terus menuntun keduanya mengulang-ulang bacaan syahadat. Tetapi ... keduanya tetap terus saja melantunkan lagu.

Tak ada gunanya ... Suara lagunya terdengar semakin melemah ... lemah dan lemah sekali. Orang pertama diam, tak bersuara lagi, disusul orang kedua. Tak ada gerak ... keduanya telah meninggal dunia. Kami segera membawa mereka ke dalam mobil. Temanku menunduk, ia tak berbicara sepatahpun. Selama perjalanan hanya ada kebisuan.

Hening...

Kesunyian pecah ketika temanku mulai bicara. Ia berbicara tentang hakikat kematian dan su'ul khatimah (kesudahan yang buruk). Ia berkata "Manusia akan mengakhiri hidupnya dengan baik atau buruk.. Kesudahan hidup itu biasanya pertanda dari apa yang dilakukan olehnya selama di dunia." Ia bercerita panjang lebar padaku tentang berbagai kisah yang diriwayatkan dalam buku-buku islam. Ia juga berbicara bagaimana seseorang akan mengakhiri hidupnya sesuai dengan masa lalunya secara lahir batin. Perjalanan kerumah sakit terasa singkat oleh pembicaraan kami tentang kematian. Pembicaraan itu makin sempurna gambarannya tatkala ingat bahwa kami sedang membawa mayat.

Tiba-tiba aku menjadi takut mati. Peristiwa ini benar-benar memberi pelajaran berharga bagiku. Hari itu, aku shalat khusyu' sekali. Tetapi perlahan-lahan aku mulai melupakan peristiwa itu. Aku kembali pada kebiasaanku semula ... Aku seperti tak pernah menyaksikan apa yang menimpa dua orang yang tak kukenal beberapa waktu yang lalu. Tetapi sejak saat itu, aku memang benar-benar menjadi benci kepada yang namanya lagu-lagu. Aku tak mau tenggelam menikmatinya seperti sedia kala. Mungkin itu ada kaitannya dengan lagu yang pernah kudengar dari dua orang yang sedang sekarat dahulu.

Kejadian yang menakjubkan ... Selang enam bulan dari peristiwa mengerikan itu .... sebuah kejadian menakjubkan kembali terjadi di depan mataku.

Seseorang mengendarai mobilnya dengan pelan, tetapi tiba-tiba mobilnya mogok di sebuah terowongan menuju kota. Ia turun dari mobilnya untuk mengganti ban yang kempes. Ketika ia berdiri dibelakang mobil untuk menurunkan ban serep, tiba-tiba sebuah mobil dengan kecepatan tinggi menabraknya dari arah belakang. Lelaki itupun langsung tersungkur seketika. Aku dengan seorang kawan, bukan yang menemaniku pada peristiwa pertama cepat-cepat menuju tempat kejadian. Dia kami bawa dengan mobil dan segera pula kami menghubungi rumah sakit agar langsung mendapat penanganan.

Dia masih sangat muda, dari tampangnya, ia kelihatan seorang yang taat menjalankan perintah agama. Wajahnya begitu bersih - mungkin karena sering tersiram air wudhlu. Ketika mengangkatnya ke mobil, kami berdua cukup panik, sehingga tak sempat memperhatikan kalau ia menggumamkan sesuatu. Ketika kami membujurkannya di dalam mobil, kami baru bisa membedakan suara yang keluar dari mulutnya.

Ia melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur'an ... dengan suara amat lemah. "Subhanallah ! dalam kondisi kritis seperti itu ia masih sempat melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur'an ? Darah mengguyur seluruh pakaiannya, tulang-tulangnya patah, bahkan ia hampir mati. Dalam kondisi seperti itu, ia terus melantunkan ayat-ayat Al-Qur'an dengan suaranya yang merdu. Selama hidup, aku tak pernah mendengar bacaan Al-Qur'an seindah itu.

Dalam batin aku bergumam sendirian "Aku akan menuntunnya membaca syahadat sebagaimana yang dilakukan oleh temanku terdahulu ... apalagi aku sudah punya pengalaman." aku meyakinkan diriku sendiri.

Aku dan kawanku seperti terhipnotis mendengarkan suara bacaan Al-Qur'an yang merdu itu. Sekonyong-konyong sekujur tubuhku merinding, menjalar dan menyelusup ke setiap rongga.

Tiba-tiba, suara itu terhenti. Aku menoleh kebelakang.

Kusaksikan dia mengacungkan jari telunjuknya lalu bersyahadat.

Kepalanya terkulai, aku melompat ke belakang. Kupegang tangannya, degup jantungnya, nafasnya, tidak ada yang terasa. Dia telah meningal. Aku lalu memandanginya lekat-lekat, air mataku menetes, kusembunyikan tangisku, takut diketahui kawanku. Kukabarkan kepada kawanku kalau pemuda itu telah meninggal. Kawanku tak kuasa menahan tangisnya. Demikian pula halnya dengan diriku. Aku terus menangis air mataku deras mengalir. Suasana dalam mobil betul-betul sangat mengharukan.

Sampai di rumah sakit .....Kepada orang-orang di sana, kami mengabarkan perihal kematian pemuda itu dan peristiwa menjelang kematiannya yang menakjubkan.

Banyak orang yang terpengaruh dengan kisah kami, sehingga tak sedikit yang meneteskan air mata. Salah seorang dari mereka, demi mendengar kisahnya, segera menghampiri jenazah dan mencium keningnya. Semua orang yang hadir memutuskan untuk tidak beranjak sebelum mengetahui secara pasti kapan jenazah akan dishalatkan. Mereka ingin memberi penghormatan terakhir kepada jenazah. Semua ingin ikut menyolatinya.

Salah seorang petugas rumah sakit menghubungi rumah almarhum. Kami ikut mengantar jenazah hingga ke rumah keluarganya. Salah seorang saudaranya mengisahkan, ketika kecelakaan, sebetulnya almarhum hendak menjenguk neneknya di desa. Pekerjaan itu rutin ia lakukan setiap hari Senin. Disana almarhum juga menyantuni para janda, anak yatim dan orang-orang miskin.Ketika terjadi kecelakaan, mobilnya penuh dengan beras, gula, buah-buahan dan barang-barang kebutuhan pokok lainnya. Ia juga tak lupa membawa buku-buku agama dan kaset-kaset pengajian. Semua itu untuk dibagi-bagikan kepada orang-orang yang ia santuni. Bahkan ia juga membawa permen untuk dibagi-bagikan kepada anak-anak kecil.

Wassalamu'alaikum.